Karakteristik Kompleks Istana Kesultanan Bima: Jejak Kehadiran Multikulturalisme di Bima

Contents [Click here]

 

Kompleks Istana Kesultanan Bima adalah bukti eksistensi Kesultanan Bima dalam kurun waktu abad 16-20 M. Kompleks Istana ini diketahui hadir sekitar abad 18 M akibat pengaruh Islam dari Sulawesi, Jawa, dan Melayu serta Belanda dalam memonopoli perdagangan. Berdirinya bangunan ini tidak terlepas dari sejarah Bima dalam proses islamisasi oleh para pendatang termasuk para pedagang. Mereka datang melalui jalur perdagangan Nusantara kuno. 

Tidak sedikit para pedagang yang singgah untuk memenuhi perbekalan termasuk air bersih, memperbaiki perahu-kapal, berlindung dari cuaca dan badai di laut lepas maupun bajak laut, maupun berdagang (Audina, 2024). Kedatangan mereka hadir bersama budaya mereka melalui interaksi dengan masyarakat lokal. Dari interaksi tersebut, meninggalkan jejak kehadiran budaya mereka yang masih ada sampai saat ini.

Kompleks Istana Kesultanan Bima jelas menunjukkan banyak sentuhan arsitektur yang kontras dengan arsitektur lokal. Meskibegitu, fenomena tersebut menjadi karakteristik. Adapun beberapa hal yang menjadi karakteristik Kompleks Istana Kesultanan Bima yaitu:

Tata Letak

Kompleks ini berada tepat di tengah Kota Bima yang diindikasikan dari jejak kota Bima dari masa lampau yaitu masa Kesultanan Bima. Jejak tersebut didukung dengan adanya alun-alun, masjid, pasar, dan permukiman. Komponen situs-situs tersebut adalah ciri khas kota Islam Nusantara pada masa lampau. 

Sebaran Komponen Kota Bima
(Sumber: Audina, 2024)

Ciri khas kota Islam tersebut umum ditemukan di Jawa dan hubungan Bima dengan Jawa telah berjalan dari sebelum periode Islam di Nusantara. Ismail (2004: 32-33) menyatakan bahwa hubungan Bima dengan Jawa sejak masa Kerajaan Kahuripan, Majapahit, Singasari, dan Kediri. Hubungan tersebut didasari atas urusan perniagaan.

Kehadiran budaya asing (non-lokal Bima) ditunjukkan dengan adanya Situs Wadu Pa'a. Situs ini diindikasikan berasal dari abad 10 M yang menunjukkan budaya Hindu-Buddha dari India, Asia Selatan. Besar kemungkinannya budaya tersebut dibawa oleh para pedagang dari Jawa atau Bali. Terlepas perdebatan asal budaya tersebut, situs ini memperkuat adanya aktivitas pelayaran dan perniagaan sebagai pintu akses Bima berinteraksi dengan pendatang dan budaya asing.

Arsitektur Bangunan

Secara garis besar, arsitektur kompleks istana kesultanan Bima ini terdapat dua gaya yaitu gaya arsitektur indis dan gaya arsitektur lokal. Kedua gaya tersebut tampak pada bangunan-bangunan di dalam kompleks istana. Arsitektur indis tampak pada istana Bima (Asi Mbojo) sedangkan arsitektur lokal tampak pada istana baru (Asi Bou) dan Gerbang. 

Arsitektur Lokal

Gaya arsitektur lokal ini tercermin pada bangunan Asi Bou dan Gerbang Lare-Lare (gerbang barat). Kedua bangunan tersebut dominan menggunakan bahan material kayu yang sangat familiar dengan arsitektur lokal nusantara ditambah sumbernya dari sekitar. Konstruksi bangunan Asi Bou ini menyerupai bangunan rumah panggung, gaya bangunan lokal Bima. 

Asi Bou (Istana Baru)
(Dok. Audina, 2022)

Komponen bangunan Asi Bou cukup sederhana. Atap bangunannya adalah limas menggunakan genteng sebagai penutupnya yang dihiasi dengan ornamen bubungan menyerupai tanduk banteng. Bangunannya sebagian besar menggunakan kayu sebagai dinding dan kolom/tiangnya untuk menopang atap. Adapun pintu dan jendelanya model kupu tarung. Sementara pada bagian lantainya menggunakan tegel. 

Penggunaan tegel tersebut menunjukkan telah adanya pergeseran dari gaya arsitektur lokal, rumah panggung, yang umumnya lantai bangunannya menggunakan kayu dan melayang (tidak langsung di atas atas). Meski begitu, konstruksi bangunannya masih erat menunjukkan gaya rumah panggung.

Arsitektur Indis

Bangunan Asi Mbojo menunjukkan sentuhan gaya arsitektur Indis. Konstruksi bangunan ini mempertahankan gaya bangunan rumah panggung dengan meninggikan lantai bangunannya. Namun, gaya arsitektur indisnya tampak dari fasad, material bangunan, dan komponen bangunannya yang asing dengan gaya arsitektur lokal.

Asi Mbojo (Istana Bima)
(Dok. Audina, 2022)

Bangunan Asi Mbojo ini menggunakan atap berbentuk limas dengan penutupnya dari genteng. Pada bagian atap juga dilengkapi dengan ornamen bubungan berupa tanduk. Pada bagian dinding dan kolom bangunan menggunakan material batu bata. Komponen bangunan ini dilengkapi dengan pintu dan jendela. Ukuran pintu dan jendelanya berukuran cukup besar yang modelnya dominan seperti kupu tarung. Pada bagian lantai ditutup dengan tegel.

Sebelum bangunan Asi Mbojo seperti saat ini, Asi Mbojo dulunya menggunakan material kayu dengan gaya arsitektur rumah panggung khas Bima. Peralihan gaya arsitektur ini jelas dipengaruhi oleh gaya arsitektur luar. Hal tersebut kemungkinan merujuk pada bangunan-bangunan keraton (istana kesultanan) di Jawa. Hal ini didukung pernyataan Zollinger dalam kunjungannya pada tahun 1847 saat pemerintahan Sultan Ismail (1819-1854 M) bahwa batu bata untuk bangunan kediaman Sultan dan masjid berasal dari Jawa (Chambert-Loir and Robson, 1993:74).

Asi Mbojo pada tahun 1900 oleh Hugo Federik
(Kemungkinan) Asi Mbojo pada tahun 1900 oleh Hugo Federik
(Sumber: KITLV)

Orientasi Bangunan

Salah satu hal yang menarik pada Kompleks Istana Kesultanan Bima adalah arah hadap bangunannya. Arah hadap istana Asi Bou menghadap barat sedangkan Asi Mbojo memiliki dua pintu akses melalui barat dan utara -yang digunakan kini adalah barat-. Namun komponen penting yang menunjukkan arah hadap kompleks istana ini adalah gerbangnya. Gerbang kompleks istana berada di barat (Lare-Lare) dan timur (Lawa Kala). Gerbang Lare-Lare cenderung lebih besar ditambah gerbang ini menghap dengan alun-alun Serasuba. Maka dari fenomena tersebut dapat diindikasikan bahwa orientasi  kompleks istana ini menghadap ke arah barat. 

Arah barat ini melahirkan dua indikasi yaitu pesisir Teluk Bima dan kiblat. Sebagaimana diketahui Teluk Bima menjadi pintu akses masuk dan keluar pendatang dan budaya asing ditambah budaya maritim Bima sangat berkaitan erat antara Teluk Bima dengan masyarakat lokal. Sementara kiblat menghadap barat juga cenderung memberi ciri khas istana ini sebagaimana Kesultanan Bima sangat menjunjung tinggi nilai islaminya. 

-

Referensi:

Audina, Izzal Faturrahmi. 2024. “Aktivitas Pelayaran Dan Perdagangan Bima Di Nusa Tenggara Barat Pada Abad XIV-XX Masehi.” Tesis. Universitas Gadjah Mada. 

Chambert-Loir, Henri, and Rosemary Robson. 1993. “State, City, Commerce: The Case of Bima”. Indonesia 57(57):71–88.

Ismail, M. Hilir. 2004. Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara. Mataram: Lengge.