Wadu Pa'a: Situs Bersejarah Bima yang Bertarung dengan Waktu
Situs Wadu Pa’a merupakan salah satu situs arkeologis yang paling menarik di Bima karena menunjukkan pengaruh Hindu-Buddha yang mana situs seperti ini jarang ditemukan di Bima. Situs ini terletak tepat di bibir barat Teluk Bima. Secara administratif, situs ini terletak di Desa Kananta, Kecamatan Soronandi, Kabupaten Bima.
Karakteristik Situs Wadu Pa’a
Situs Wadu Pa’a ini memilki karakteristik khas yaitu pemahatan prasasti pada tebing karang yang tidak umum di Indonesia tapi umum ditemukan di India (Susetyo 2014:125). Oleh karena itu, situs ini sangat menarik. Situs Wadu Pa’a diketahui dan dicatat oleh orang Belanda di Bima pada tahun 1862 lalu diteliti oleh G. P. Rouffaer pada tahun 1910 (Noorduyn 1987 dalam De Casparis 1998:466).
Situs Wadu Pa'a I |
Berdasarkan karakteristiknya, situs ini diyakini sebagai pemujaan (ceremonial sites) agama Hindu-Buddha (Siwa Buddha) (Haerunnisa 2014:39). Hal ini ditunjukkan dengan relief Agastya, Ganesha sebagai karakteristik Hindu sedangkan karakteristik Buddha ditemukan pada ceruk gua ditambah fragmen arca beserta lapiknya, relief stupa (mirip bangunan Meru di Bali), dan sempalan lingga yoni (Fadillah 1990:28).
Situs Wadu Pa'a |
Asal-Usul Situs Wadu Pa’a
Ada beberapa pendapat terkait asal Situs Wadu Pa’a berdasarkan temuan atribut-artibutnya, di antaranya adalah:
- Pengaruh dari BaliSitus Wadu Pa’a memiliki karakteristik yang sama dengan Situs Goa Gajah di Bali yang diperkirakan berasal pada antara abad ke-10 sampai dengan abad ke-11 M (Suantika 1990:47). Situs tersebut diasumsikan berasal dari masa Kesari Warmadewa. Kesari Warmadewa merupakan pendiri Kerajaan Bedahulu di Pulau Bali pada abad 10 M. Suantika (1990) juga menyakini dengan adanya Desa Sowa yang diindikasikan adalah nama suwal yang disebutkan dalam Prasasti Blanjong di Bali. Daerah suwal pernah ditaklukkan Raja Kesari Warmadewa.
- Pengaruh dari JawaMenurut Chambert-Loir (2004) karakter aksaranya mirip dengan prasasti Jawa Timur sekitar tahun 1367 M (Chambert-Loir 2004:67–69). Selain itu, relief stupa di Wadu Paa menyerupai dengan relief di Candi Borobudur dari abad 9 M (Susetyo 2014:124). Situs ini dikaitkan dengan Jawa dari era Kerajaan Kahuripan, Kerajaan Majapahit, Singasari, dan Kediri (Ismail 2004:32–33).
- Pengaruh era SriwijayaSitus ini ditemukan skrip yang didefinisikan sebagai “pallava” atau aksara pallawa. Menurut Rouffaer, ditemukan tulisan dalam aksara pallawa dalam bahasa Sansekerta maka prasasti ini diperkirakan dibangun sekitar abad ke-9 M (Chambert-Loir and Robson 1993:87). George Coedès (1930) menambahkan bahwa aksara di situs tersebut mirip dengan prasasti-prasasti Sriwijaya (De Casparis 1998:465).
Wadu Pa’a dalam Jalur Pelayaran dan Perdagangan Nusantara
Situs ini sangat berkaitan dengan pelayaran dan perdagangan jalur rempah masa lampau berdasarkan sketsa peta tahun 1793 M. Pada sketsa tersebut lokasi ini menjadi salah satu bongkar sauh perahu dan kapal selain Kolo dan Pelabuhan Bima (Audina 2024). Pernyataan tersebut didukung dengan adanya sungai dan mata air tawar di pesisir pantai situs, di dekat situs terdapat Desa Sai yang berarti singgah (ada kemungkinan menjadi tempat persinggahan para pelayar atau pedagang), kondisi geografisnya pun mendukung untuk tempat bersandar perahu dan kapal saat angin kencang dalam perjalanan di Laut Flores, dan bahkan sampai saat ini masih menjadi tempat bersandar perahu dan kapal (Audina 2024:109). Sebagai tempat singgah juga dibuktikan dalam naskah Bo Sangaji Kai bahwa dalam pelayaran Sultan Abdul Hamid menuju Makassar singgah di ‘Batu Pahat’ (Chambert-Loir 2004:253–57).
Mata Air Tawar dekat Situs |
Catatan:
Situs ini sangat urgensi untuk perlindungan karena akan terus bertarung waktu sedangkan relief situs tersebut terus terkikis ditambah vandalisme dan letak geografisnya yang dengan laut. Oleh karena itu, masyarakat setempat dan pemerintah daerah perlu bekerja sama dalam melestarikan keberadaan situs ini. Kajian terkait situs ini pun perlu diperdalam untuk memperjelas dan mengisi kekosongan sejarah dan identitas Bima pada masa lampau khususnya era Hindu-Buddha.
Referensi:
Audina, Izzal Faturrahmi. 2024. “Aktivitas Pelayaran Dan Perdagangan Bima Di Nusa Tenggara Barat Pada Abad XIV-XX Masehi.” Universitas Gadjah Mada.
De Casparis, J. G. 1998. “Some Notes on Ancient Bima.” Archipel 56(1):465–68. doi: 10.3406/arch.1998.3502.
Chambert-Loir, Henri. 2004. Kerajaan Bima Dalam Sastra Dan Sejarah. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Chambert-Loir, Henri, and Rosemary Robson. 1993. “State, City, Commerce: The Case of Bima.” Indonesia 57(57):71–88. doi: 10.2307/3351242.
Fadillah, Mohammad Ali. 1990. “Sumbawa: Islamisasi, Makasarisasi, Dan Subordinasi.” Berkala Arkeologi 11(1):27–47. doi: 10.30883/jba.v11i1.549.
Haerunnisa. 2014. “Wadu Pa’a Peninggalan Arkeologi Masa Hindu-Buddha Di Kecamatan Soromandi, Kabupaten Bima.” Universitas Hasanuddin.
Ismail, M. Hilir. 2004. Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara. Mataram: Lengge.
Suantika, I. Wa. 1990. “Peninggalan Ciwa-Budaha Di Goa Gajah (Bali) Dan Wadu Pa’a (Bima).” Forum Arkeologi 2(2):41–49.
Susetyo, Sukawati. 2014. “Pengaruh Peradaban Majapahit Di Kabupaten Bima Dan Dompu.” Forum Arkeologi 27(2):121–34.